Perempuan

Tantangan Perempuan dalam Hubungan Toksik

Kekerasan terhadap perempuan makin marak terjadi, salah satunya dalam hubungan toksik yang dapat berdampak buruk bagi keadaan fisik maupun mental seseorang.

Published

on

Oleh: Anatasya Patricia Kilis

Kekerasan terhadap perempuan makin marak terjadi, dilakukan oleh orang yang tidak dikenal maupun orang-orang terdekat. Dalam lingkup relasi, ini disebut hubungan toksik yaitu hubungan tidak sehat yang dapat berdampak buruk bagi keadaan fisik maupun mental seseorang. Sering kali dalam bentuk asmara, hubungan toksik membuat para korban terjebak dan sulit untuk keluar darinya.

Lina*, salah seorang perempuan (22) menceritakan pengalaman bergelut dalam hubungan toksik yang belum lama dialami. Perlakuan tidak terpuji kerap diterimanya.

“Beberapa kali saya dipukuli tanpa alasan yang jelas oleh pasangan saya sebagai pelampiasan kemarahannya. Kadang juga dipaksa untuk melakukan hubungan seksual,” ungkapnya.

Menjalani waktu demi waktu dengan perlakuan tidak menyenangkan oleh pasangan, menjadikan Lina sebagai pribadi yang menyimpan kepahitan dengan pengaruh buruk bagi mental dan fisiknya. Merenungkan kondisi itu membuatnya bertekad menyelamatkan diri dari hubungan tidak sehat yang dijalani. Dalam kurun waktu cukup lama, ia merasa terjebak pada hubungan merugikan, namun dengan dukungan keluarga serta rekan-rekan terkasih, ia mampu meninggalkan hubungan tersebut.

Meski relasinya sudah berakhir, sampai kini gangguan oleh pelaku hingga anggapan buruk dari beberapa orang masih sering dikhawatirkan Lina. Tetapi dengan keberanian, ia berusaha maksimal agar tak berlarut di dalamnya.

Di sisi lain, Nisya*(25) ikut serta membagikan pengalaman menghadapi kekerasan oleh suaminya dalam relasi yang sudah dijalani selama 2 tahun.

“Seringkali berselisih pendapat dalam rumah tangga saya berujung pada serangan fisik,” tuturnya.

Beberapa upaya sudah coba dilakukan Nisya guna mempertahankan hubungan rumah tangga tersebut, namun tetap tidak memperoleh hasil baik. Awalnya, sangat sukar bagi Nisya untuk terus bertahan dalam hubungan ini, namun bukan hal mudah untuk ditinggalkan, tetapi dengan dukungan kerabat, ia memutuskan mengakhiri relasi tersebut.

“Dalam hal ini, akhirnya buatku kehilangan tidak selalu berarti kerugian, aku memantapkan diri untuk keluar dari toxic relationship dan kebiasaan buruk ini untuk menciptakan ruang buat hal-hal yang lebih baik,” jelasnya.

Sementara itu, Anastasia Sari Dewi, seorang psikolog klinis juga founder layanan psikologi Anastasia & associate, yang seringkali terlibat dalam konseling serta pembahasan isu hubungan toksik, menyayangkan masih banyaknya anggapan perempuan adalah sosok lemah, hingga kadang berujung menjadikan perempuan sebagai korban.

Anastasia Sari Dewi sebagai narasumber dalam sebuah webinar “Kekerasan Dalam Pacaran”
(sumber : dokumentasi pribadi Anastasia Sari Dewi)

“Sebenarnya sangat disayangkan, tapi dari dulu kekerasan dalam hubungan memang ada. Kalau kita bicara tentang korbannya perempuan bukan karena kitanya perempuan, tapi seringkali kasus yang terungkap adalah perempuan sebagai korban. Apalagi di budaya kita, masih banyak orang memposisikan perempuan seolah-olah lebih lemah dan rendah daripada laki-laki,” tuturnya.

Sari menegaskan, anggapan dan pandangan seharusnya tak terbatas hanya pada gender, melainkan turut menyertakan kemampuan masing-masing individu, dengan perempuan sebagai individu yang setara dengan laki-laki dalam beberapa hal. Adalah pandangan keliru ketika kekerasan terhadap perempuan didasari dengan pemikiran bahwa perempuan lebih lemah dan rendah.

Melansir dari Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan, ranah yang paling berisiko bagi perempuan mengalami kekerasan, yaitu ranah personal, di antaranya dalam perkawinan atau dalam rumah tangga (KDRT) serta dalam hubungan personal (hubungan pribadi/pacaran), sebanyak 6.480 kasus terjadi pada tahun 2021. Hal ini menjadi penyebab sebuah hubungan bernilai toksik.

Dampak Psikologis

Seringkali para perempuan terikat pada hubungan toksik, yang dilatari oleh berbagai faktor. Salah satunya, keadaan mental seseorang.

Dalam menjalani hubungan toksik, tanpa sadar para korban kerap mengalami trauma bonding, yakni kondisi di mana seseorang terus membangun ikatan bersama orang yang telah melakukan tindakan kekerasan maupun pelecehan kepada dirinya. Pola pikir yang diyakini pribadi tersebut melatarbelakangi penerimaannya terhadap perlakuan buruk yang dihadapi.

“Pola pikir yang sudah dia yakini dan jalani pada dirinya sejak kecil, latar belakang keluarga, pola asuh, atau pola didik menjadi bahan pertimbangan dia, secara sadar maupun tidak. Setiap individu memiliki alam sadar dan alam bawah sadar, di mana pola yang dia dapat sewaktu ia kecil menentukan apakah dapat menoleransi kejadian-kejadian buruk seperti itu, ” jelas Sari dalam wawancara melalui Zoom (20/01).

Tipe kepribadian juga memengaruhi hal ini, orang dengan jenis kepribadian dependen menjadikan dirinya harus selalu bergantung penuh pada orang lain.

Sementara, tindakan pelaku yang sesekali bersikap manis terhadap korban, menjadikannya acuh pada perlakuan buruk yang terus berulang. Selain itu, penilaian kritis oleh pihak lain terhadap korban turut mendorong seseorang terikat dalam hubungan meski bernilai toksik.

“Ada fase honeymoon dalam kekerasan, jadi sesekali perlakuan manis oleh pelaku membuat sisi buruknya diabaikan. Tekanan dari segi sosial dan budaya terkait perceraian/perpisahan yang sebenarnya tidak realistis juga sangat berdampak bagi mereka. Cukup sulit untuk kita main terobos atau meminta korban langsung selesai dalam hubungannya tanpa memaknai pola dan pendekatan khusus,” ujar Sari.

Sari menyampaikan beberapa kiat untuk para perempuan menghadapi dan menghindari hubungan toksik.

  • Tidak sepenuhnya bergantung pada pasangan

Pengembangan potensi diri semestinya dilakukan setiap perempuan dalam mencapai tujuan hidupnya. Dengan begitu, hidup dan perhatian tidak hanya berpusat pada pasangan.

“Sebelum terjun dalam ikatan hubungan, kenali dulu passion dan ketertarikan dirimu dalam hal apa. Sebagai perempuan jangan menjadikan hubungan sebagai tempat untuk bergantung sepenuhnya, termasuk ke aktivitas sehari-hari,” jelas Sari.

  • Memperhatikan komponen hubungan        

Komponen keakraban, komitmen, dan hasrat dalam membangun sebuah hubungan perlu sangat diperhatikan, karena setiap hubungan diharapkan berlangsung dalam kurun waktu lama, yang tujuannya bertumbuh secara psikologis maupun biologis.

“Penting untuk menilik kembali apakah dalam menjalani hubungan terdapat komitmen, hasrat, dan keakraban satu sama lain,” imbuh Sari

  • Cara sederhana mendeteksi hubungan toksik

Hubungan yang baik dan sehat adalah ketika setiap pribadi saling mendukung pasangannya. Akan bernilai toksik jika satu pihak merasa dirugikan dan tertekan terus menerus. Upaya sederhana dalam menilai toksik atau tidaknya sebuah hubungan adalah penilaian terhadap diri sendiri, apakah dirimu menjadi lebih baik dalam relasi tersebut atau tidak.

Relationship sehat adalah yang sama-sama bertumbuh. Menjalin sebuah relasi yang sehat adalah saling mendukung pasangannya untuk menjadi lebih baik dalam mencapai kepentingan bersama dan individu itu sendiri. Ini bisa jadikan salah satu bahan renungan paling dasar dalam menilai baik atau tidaknya suatu relasi,” ucap Sari.

  • Jangan ragu untuk keluar dari hubungan toksik

Menjalani hubungan toksik pada akhirnya hanya akan merugikan diri sendiri. Banyaknya ketidakcocokan antar pasangan akan berpengaruh buruk bagi kesehatan mental dan fisik.

“Jangan ragu untuk keluar dari hubungan toksik. Kalau memang tidak terdapat kecocokan dalam hubungan, sebaiknya jangan dipaksakan,” tandasnya.

*Bukan nama sebenarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Populer

Copyright © 2021 Liputan Inklusif.