Connect with us

Perempuan

Save Janda Terus Aktif Patahkan Stigma di Masa Pandemi

Published

on

Mutiara Proehoeman sebagai pembicara di sesi diskusi yang berlangsung di GoWork Plaza Setiabudi, Jakarta Selatan (26/4/2019). Foto: Pingpoint.

Oleh: Nindita Nisditia

Derasnya arus perkembangan teknologi dan informasi turut memperluas stigma kepada janda, mengingat berbagai platform media massa ikut meresap dan memproduksi konten-konten yang mendiskreditkan para janda. Oleh karena itu, Komunitas Save Janda terus aktif berjuang mematahkan stigma dengan gerakan #SaveJanda di media sosial tak terkecuali di masa pandemi.

Dilansir dari laman Katadata.co.id, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat terdapat 3,97 juta penduduk yang berstatus perkawinan cerai hidup dan 10,66 juta penduduk berstatus cerai mati hingga akhir Juni 2021. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat jutaan perempuan di luar sana harus berhadapan dengan stigma negatif.

Stigma dan label yang diberikan kepada janda sebagai objek seksual dan belas kasihan pun membangkitkan niat Mutiara Proehoeman untuk mendirikan Komunitas Save Janda dan menyuarakan gerakan #SaveJanda di media sosial.

Mutiara merasa dengan disemarakannya gerakan dan komunitas yang peduli akan nasib-nasib janda di Indonesia, para janda tidak perlu lagi malu dengan pilihan hidup yang mereka pilih.

“Untuk menjadi janda dengan segala macam stigmanya membutuhkan courage atau keberanian yang luar biasa dan kesiapan mental, apakah ketakutan mendapat status janda worth it ditukar dengan tetap menjalani hubungan yang toksik?” ungkap Mutiara (31/10/2021).

Menurut Mutiara komunitas Save Janda sudah semakin berhasil dalam upaya memberantas stigma terlebih di tahun 2021 ini.

“Lima tahun sudah kami membuat fondasi, membuat suara, mengkampanyekan advokasi stigma. Tanggapan masyarakat juga sudah mulai bagus dan tidak malu-malu lagi menyuarakan kata janda,” kata Mutiara.

Berdasarkan keterangan Mutiara, Save Janda memiliki tiga pilar, yakni advokasi stigma negatif janda, pendampingan psikososial, dan empowerement. Di masa pandemi, Save Janda juga aktif menyelenggarakan program daring bertajuk Save Janda Work Self Series guna meningkatkan keterampikan, pengetahuan, dan kewirausahaan para anggota.

Di masa pandemi Save Janda masih terus aktif dalam mengadakan program bermanfaat, di antaranya adalah Save Janda Work Self Series (#SJWSS). Tangkapan layar: Instagram @save_janda.

Ika Utari yang merupakan salah satu anggota Save Janda, telah bergabung sejak tahun 2019 pasca bercerai dengan mantan suami. Ia mengaku menjadi janda beranak satu tidak membuatnya luput dari stigma di lingkungan sekitar.

“Para istri-istri kerabat saya jadi sering salah paham karna dianggapnya saya selingkuh sama suaminya, padahal kami hanya sebatas teman, rekan kerja, atau partner lainnya,” ujar Ika (09/11/2021)

Ika merasa bahwa Save Janda merupakan support system untuknya dalam menghadapi stigma negatif.

“Paling kerasa positive vibes-nya karna kami punya grup curhat buat numpahin sampah hati, jadi bisa lebih lega. Saya juga suka ketika kami lagi SJWSS ada pembicara yang hebat-hebat pula,” katanya.

Menurutnya, di masa pandemi ini Save Janda masih terus aktif dalam melakukan kampanye dan mengedukasi bahwa stigma janda merupakan persepsi yang tidak realistis. Save Janda juga terus aktif meminimalkan mindset masyarakat tentang stigma janda di media sosial.

“Janda itu baik, single fighter, kuat, tangguh, cerdas, dan banyak juga janda yang berusaha produktif untuk menghidupi dirinya maupun anak-anaknya, seperti saya contohnya,” jelas Ika.

Selain itu, juga terdapat Form Perempuan Save Janda untuk membantu para janda dan non-janda dalam menyebarkan informasi dan mempromosikan usaha yang dimiliki para anggota.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Perempuan

Tantangan Perempuan dalam Hubungan Toksik

Kekerasan terhadap perempuan makin marak terjadi, salah satunya dalam hubungan toksik yang dapat berdampak buruk bagi keadaan fisik maupun mental seseorang.

Published

on

By

Oleh: Anatasya Patricia Kilis

Kekerasan terhadap perempuan makin marak terjadi, dilakukan oleh orang yang tidak dikenal maupun orang-orang terdekat. Dalam lingkup relasi, ini disebut hubungan toksik yaitu hubungan tidak sehat yang dapat berdampak buruk bagi keadaan fisik maupun mental seseorang. Sering kali dalam bentuk asmara, hubungan toksik membuat para korban terjebak dan sulit untuk keluar darinya.

Lina*, salah seorang perempuan (22) menceritakan pengalaman bergelut dalam hubungan toksik yang belum lama dialami. Perlakuan tidak terpuji kerap diterimanya.

“Beberapa kali saya dipukuli tanpa alasan yang jelas oleh pasangan saya sebagai pelampiasan kemarahannya. Kadang juga dipaksa untuk melakukan hubungan seksual,” ungkapnya.

Menjalani waktu demi waktu dengan perlakuan tidak menyenangkan oleh pasangan, menjadikan Lina sebagai pribadi yang menyimpan kepahitan dengan pengaruh buruk bagi mental dan fisiknya. Merenungkan kondisi itu membuatnya bertekad menyelamatkan diri dari hubungan tidak sehat yang dijalani. Dalam kurun waktu cukup lama, ia merasa terjebak pada hubungan merugikan, namun dengan dukungan keluarga serta rekan-rekan terkasih, ia mampu meninggalkan hubungan tersebut.

Meski relasinya sudah berakhir, sampai kini gangguan oleh pelaku hingga anggapan buruk dari beberapa orang masih sering dikhawatirkan Lina. Tetapi dengan keberanian, ia berusaha maksimal agar tak berlarut di dalamnya.

Di sisi lain, Nisya*(25) ikut serta membagikan pengalaman menghadapi kekerasan oleh suaminya dalam relasi yang sudah dijalani selama 2 tahun.

“Seringkali berselisih pendapat dalam rumah tangga saya berujung pada serangan fisik,” tuturnya.

Beberapa upaya sudah coba dilakukan Nisya guna mempertahankan hubungan rumah tangga tersebut, namun tetap tidak memperoleh hasil baik. Awalnya, sangat sukar bagi Nisya untuk terus bertahan dalam hubungan ini, namun bukan hal mudah untuk ditinggalkan, tetapi dengan dukungan kerabat, ia memutuskan mengakhiri relasi tersebut.

“Dalam hal ini, akhirnya buatku kehilangan tidak selalu berarti kerugian, aku memantapkan diri untuk keluar dari toxic relationship dan kebiasaan buruk ini untuk menciptakan ruang buat hal-hal yang lebih baik,” jelasnya.

Sementara itu, Anastasia Sari Dewi, seorang psikolog klinis juga founder layanan psikologi Anastasia & associate, yang seringkali terlibat dalam konseling serta pembahasan isu hubungan toksik, menyayangkan masih banyaknya anggapan perempuan adalah sosok lemah, hingga kadang berujung menjadikan perempuan sebagai korban.

Anastasia Sari Dewi sebagai narasumber dalam sebuah webinar “Kekerasan Dalam Pacaran”
(sumber : dokumentasi pribadi Anastasia Sari Dewi)

“Sebenarnya sangat disayangkan, tapi dari dulu kekerasan dalam hubungan memang ada. Kalau kita bicara tentang korbannya perempuan bukan karena kitanya perempuan, tapi seringkali kasus yang terungkap adalah perempuan sebagai korban. Apalagi di budaya kita, masih banyak orang memposisikan perempuan seolah-olah lebih lemah dan rendah daripada laki-laki,” tuturnya.

Sari menegaskan, anggapan dan pandangan seharusnya tak terbatas hanya pada gender, melainkan turut menyertakan kemampuan masing-masing individu, dengan perempuan sebagai individu yang setara dengan laki-laki dalam beberapa hal. Adalah pandangan keliru ketika kekerasan terhadap perempuan didasari dengan pemikiran bahwa perempuan lebih lemah dan rendah.

Melansir dari Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan, ranah yang paling berisiko bagi perempuan mengalami kekerasan, yaitu ranah personal, di antaranya dalam perkawinan atau dalam rumah tangga (KDRT) serta dalam hubungan personal (hubungan pribadi/pacaran), sebanyak 6.480 kasus terjadi pada tahun 2021. Hal ini menjadi penyebab sebuah hubungan bernilai toksik.

Dampak Psikologis

Seringkali para perempuan terikat pada hubungan toksik, yang dilatari oleh berbagai faktor. Salah satunya, keadaan mental seseorang.

Dalam menjalani hubungan toksik, tanpa sadar para korban kerap mengalami trauma bonding, yakni kondisi di mana seseorang terus membangun ikatan bersama orang yang telah melakukan tindakan kekerasan maupun pelecehan kepada dirinya. Pola pikir yang diyakini pribadi tersebut melatarbelakangi penerimaannya terhadap perlakuan buruk yang dihadapi.

“Pola pikir yang sudah dia yakini dan jalani pada dirinya sejak kecil, latar belakang keluarga, pola asuh, atau pola didik menjadi bahan pertimbangan dia, secara sadar maupun tidak. Setiap individu memiliki alam sadar dan alam bawah sadar, di mana pola yang dia dapat sewaktu ia kecil menentukan apakah dapat menoleransi kejadian-kejadian buruk seperti itu, ” jelas Sari dalam wawancara melalui Zoom (20/01).

Tipe kepribadian juga memengaruhi hal ini, orang dengan jenis kepribadian dependen menjadikan dirinya harus selalu bergantung penuh pada orang lain.

Sementara, tindakan pelaku yang sesekali bersikap manis terhadap korban, menjadikannya acuh pada perlakuan buruk yang terus berulang. Selain itu, penilaian kritis oleh pihak lain terhadap korban turut mendorong seseorang terikat dalam hubungan meski bernilai toksik.

“Ada fase honeymoon dalam kekerasan, jadi sesekali perlakuan manis oleh pelaku membuat sisi buruknya diabaikan. Tekanan dari segi sosial dan budaya terkait perceraian/perpisahan yang sebenarnya tidak realistis juga sangat berdampak bagi mereka. Cukup sulit untuk kita main terobos atau meminta korban langsung selesai dalam hubungannya tanpa memaknai pola dan pendekatan khusus,” ujar Sari.

Sari menyampaikan beberapa kiat untuk para perempuan menghadapi dan menghindari hubungan toksik.

  • Tidak sepenuhnya bergantung pada pasangan

Pengembangan potensi diri semestinya dilakukan setiap perempuan dalam mencapai tujuan hidupnya. Dengan begitu, hidup dan perhatian tidak hanya berpusat pada pasangan.

“Sebelum terjun dalam ikatan hubungan, kenali dulu passion dan ketertarikan dirimu dalam hal apa. Sebagai perempuan jangan menjadikan hubungan sebagai tempat untuk bergantung sepenuhnya, termasuk ke aktivitas sehari-hari,” jelas Sari.

  • Memperhatikan komponen hubungan        

Komponen keakraban, komitmen, dan hasrat dalam membangun sebuah hubungan perlu sangat diperhatikan, karena setiap hubungan diharapkan berlangsung dalam kurun waktu lama, yang tujuannya bertumbuh secara psikologis maupun biologis.

“Penting untuk menilik kembali apakah dalam menjalani hubungan terdapat komitmen, hasrat, dan keakraban satu sama lain,” imbuh Sari

  • Cara sederhana mendeteksi hubungan toksik

Hubungan yang baik dan sehat adalah ketika setiap pribadi saling mendukung pasangannya. Akan bernilai toksik jika satu pihak merasa dirugikan dan tertekan terus menerus. Upaya sederhana dalam menilai toksik atau tidaknya sebuah hubungan adalah penilaian terhadap diri sendiri, apakah dirimu menjadi lebih baik dalam relasi tersebut atau tidak.

Relationship sehat adalah yang sama-sama bertumbuh. Menjalin sebuah relasi yang sehat adalah saling mendukung pasangannya untuk menjadi lebih baik dalam mencapai kepentingan bersama dan individu itu sendiri. Ini bisa jadikan salah satu bahan renungan paling dasar dalam menilai baik atau tidaknya suatu relasi,” ucap Sari.

  • Jangan ragu untuk keluar dari hubungan toksik

Menjalani hubungan toksik pada akhirnya hanya akan merugikan diri sendiri. Banyaknya ketidakcocokan antar pasangan akan berpengaruh buruk bagi kesehatan mental dan fisik.

“Jangan ragu untuk keluar dari hubungan toksik. Kalau memang tidak terdapat kecocokan dalam hubungan, sebaiknya jangan dipaksakan,” tandasnya.

*Bukan nama sebenarnya.

Continue Reading

Perempuan

Tuba Fallopi: Korban Kekerasan Seksual Berhak Bahagia

“Aku adalah penyintas, aku  korban kekerasan seksual dan selalu bicara tentang hak korban. Siapapun korban ayo kita suarakan bersama!”

Published

on

By

Cupay aktif berdiskusi pada acara workshop Bermedia untuk Keberagaman, yang berlangsung pada 5-6 Juni 2021. (Sumber: Dokumentasi Kabar Sejuk)

Oleh: Ais Jauhara Fahira (Universitas Andalas)

“Aku adalah penyintas, aku  korban kekerasan seksual dan selalu bicara tentang hak korban. Siapapun korban ayo kita suarakan bersama! Kamu berhak bahagia. Kita bukan manusia buangan, kita manusia sama seperti mereka,” ucap Tuba Fallopi, atau kerap disapa Cupay.

Perempuan kelahiran Jakarta ini merupakan aktivis perempuan yang lantang memperjuangkan kesetaraan gender di Sumbar (Sumatera Barat). Cupay mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh pamannya saat usianya 8 tahun. Ia tak tahu harus mengadu kepada siapa saat itu.

Hingga akhirnya ia memberanikan diri bercerita kepada guru KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang saat itu mengajar di sekolahnya. Cupay akhirnya sadar bahwa dirinya telah mengalami kekerasan seksual. Alih-alih didukung, setelah keluarga mengetahuinya. Dirinya malah dianggap aib, dan telah rusak. Kurangnya dukungan membuat Cupay mengalami luka mental. Bahkan, hingga pikiran untuk mengakhiri hidup.

Sekian lama bertarung dengan luka mental, akhirnya Cupay mendapat dukungan dari lingkaran orang-orang baik. Pada tahun 2018, tepatnya saat terjadi kisruh di Gunung Talang, Sumbar. Ia bertemu dengan kelompok aktivis feminis, HAM (Hak Asasi Manusia), dan sesama penyintas kekerasan seksual. Kehadiran mereka membuatnya tak merasa sendiri lagi. Bahkan yakin, jika banyak korban seperti dirinya, hanya saja takut untuk bicara.

Bukan satu-satunya korban

Angka kekerasan seksual Sumbar tergolong masih tinggi, terutama daerah pedesaan. Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) dilansir dari Katadata, angka pemerkosaan di pedesaan Sumbar tahun 2019 menduduki posisi tertinggi di Indonesia.



Infografis kasus pemerkosaan di pedesaan Indonesia
(Sumber infografis: databooks.katadata.id)

Selain itu, pada tahun 2021 kekerasan terhadap anak di Sumbar, didominasi kekerasan seksual. Dilansir dari Kompas,  Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Kota Padang Editiawarman, mengungkapkan bahwa  total ada 34 kasus dengan rincian kekerasan fisik 5 kasus, psikis 8 kasus, kekerasan seksual 20 kasus, dan penelantaran 1 kasus.

Memulai perjuangan dari tongkrongan ke tongkrongan

Semenjak menemukan lingkaran yang suportif, Cupay mulai aktif membicarakan isu gender. “Kita mulai dari tongkrongan ke tongkrongan, dari kawan-kawan punk, vespa hingga kuliah, kita membicarakan seperti kenapa perempuan harus dinomorduakan dan sejenisnya,” ujar Cupay.

Di tahun 2019, Cupay melakukan perjalanan street art ke berbagai kota di Indonesia. Setiap kota yang Cupay singgahi, tak lupa ia kunjungi tempat prostitusi. Ini dilakukan untuk memperhatikan isu perempuan, anak dan kekerasan berbasis gender. Kemudian pada tahun 2020 Cupay kembali ke Sumbar untuk menyerukan isu gender.

“Sudah, tentu tidak universal. Di kampung tempat Cupay kecil masih belum,” ucapnya ketika ditanya tentang kesadaran gender. Ia juga menambahkan bahwa keluarga dan tetangga masih menganggapnya sebagai aib.

Menurut Cupay Sumbar masih jauh dari kata setara. Berdasarkan penelitian yang ia lakukan di Agam, budaya Minangkabau sudah memposisikan perempuan dengan baik. Hanya saja dalam praktiknya, pengambilan keputusan masih didominasi oleh laki-laki, bahkan keputusan untuk perempuan itu sendiri. Namun, dari kesimpulan tersebut bukan berarti menggeneralisasi praktik adat istiadat di seluruh daerah Minangkabau.

Sekolah Gender Sumatera Barat


(Dokumentasi pribadi Tuba Fallopi)
Cupay bersama Alfi (paling kiri), Habib (paling kanan) dan Wira (sebelah kanan Cupay) launching Sekolah Gender pada Januari 2021.
 

Oleh karena itu, pada akhir tahun 2020 Cupay melahirkan ide untuk mendirikan SekGen (Sekolah Gender). SekGen terbentuk, berkat usaha keras Cupay, Alfi, Wira dan Habib.Mereka dipertemukan di Karya Latihan Bantuan Hukum.  Sehingga kehadiran SekGen di bawah naungan LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Padang. “Sekolah Gender ini merupakan tempat bagi anak muda, laki-laki maupun perempuan untuk ngobrol seputar gender,” ujar Alfi, salah satu pendiri SekGen yang aktif di LBH Padang.

Selain itu Alfi juga mengungkapkan beberapa kegiatan SekGen. Terdiri dari lokakarya, ngobrol mesra seputar isu gender, peringatan  International Women Day dan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. “Permasalahan gender sering dianggap orang umum tidak penting. Aku nggak mau berdiam-diam dan nggak melakukan apapun, bagiku SekGen adalah salah satu jalan yang bisa aku tempuh,” ujar Talia, mahasiswa Universitas Andalas, salah satu peserta lokakarya Sekolah Gender.

Usaha Cupay dan kawan-kawan dalam menghidupkan SekGen, bukan tanpa rintangan. Cupay mengungkapkan bahwa dirinya pernah mendapat cemooh, penyebaran nomor pribadi, hingga ancaman pembunuhan. Tapi Cupay tetap keukeuh dan berharap dapat menciptakan ruang aman serta mewadahi obrolan seputar isu gender.

Continue Reading

Perempuan

Sepak Terjang Guru Les Perempuan Mengajar di Masa Pandemi

Pandemi COVID-19 memberi berbagai tantangan bagi guru les perempuan di beberapa Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) maupun Bimbingan Belajar (Bimbel)

Published

on

By

Oleh: Rusdiana (Universitas Lambung Mangkurat)

Pandemi COVID-19 memberi berbagai tantangan bagi guru les perempuan di beberapa Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) maupun Bimbingan Belajar (Bimbel). Meski alami sepak terjang, guru les perempuan tetap berjuang di garda depan pendidikan.

Walau kegiatan dilakukan secara daring, masih banyak orang tua peserta didik yang memilih untuk tidak memberikan pembelajaran tambahan kepada anaknya dengan bantuan guru les. Hal ini tentu berdampak pada penurunan jumlah peserta didik yang membuat banyak tenaga pendidik yang memilih berhenti.

Salah satu LKP di Banjarmasin, yaitu Excellent Center, membenarkan hal tersebut. “Pengaruh yang paling signifikan dari pandemi COVID-19 adalah penurunan peserta didik yang cukup drastis,” ujar Arbainah selaku Ketua Yayasan LKP Excellent ketika diwawancarai pada Jumat, (29/10/2021). Sebelum pandemi, peserta didik membludak, bahkan LKP miliknya pernah mencari beberapa tambahan guru les karena tingginya jumlah peserta les.

 “Tenaga pendidik kami dulu lumayan banyak, ada laki-laki dan perempuan. Tapi setelah pandemi, pengajar laki-laki istirahat semua. Dan ketika mencari pengajar baru, yang kami dapat hanya pengajar perempuan saja,” jelas Arbainah.

Pembelajaran les oleh Nur Septia Supiyanti yang berlangsung sebelum pandemi COVID-19 di LKP Excellent Center, Banjarmasin (16/04/2019) (Instagram Yayasan CBB)

Menurut Arbainah, alasan penurunan peserta didik dikarenakan orang tua yang takut anaknya terserang COVID-19. “Sebelumnya masyarakat tidak memiliki ketakutan jika anaknya berkumpul dengan anak lain. Tetapi sekarang mereka mulai takut meskipun dengan protokol kesehatan dan akhirnya tidak melanjutkan les,” jelasnya.

Pembelajaran les oleh Nur Septia Supiyanti yang berlangsung saat pandemi COVID-19 di LKP Excellent Center, Banjarmasin (19/04/2020) (Instagram Yayasan CBB)

Perjuangan guru les perempuan di lembaga ini tidak berhenti di situ. Meskipun kebijakan mengenai Pembelajaran Tatap Muka (PTM) sudah dikeluarkan oleh Kemendikbud pada Senin (13/09/2021), peserta didik masih sering mendapatkan tugas setiap hari layaknya pembelajaran daring. Hal ini berdampak terhadap sistem dan cara mengajar guru les perempuan karena harus mengubah jadwal les menjadi pagi hari. Tentunya, guru les perempuan harus pandai mengatur waktu antara mengajar dengan pekerjaan rumah.

Nur Septia Supiyanti, salah satu guru les di Banjarmasin mengaku ia hanya membantu peserta didik menjawab tugas yang diberikan oleh guru di sekolah hampir di setiap kegiatan les berlangsung. “Soal yang diberi banyak. Jadi, agak keteteran dalam menjelaskan materi sesuai soal. Sedangkan waktu les hanya satu jam,” ujar Septi pada Jumat, (29/10). Bahkan, Septi yang biasanya fokus menjadi guru les Bahasa Inggris harus membantu peserta didik dalam mengerjakan tugas mata pelajaran lain yang bukan ranahnya.

Peran perempuan yang lebih aktif dalam menjadi pahlawan tanpa tanda jasa memang tak bisa dielakkan. Pusat Data dan Statistik Kemendikbud Tahun 2020/2021 mengungkap banyak guru perempuan di Indonesia adalah 71%. Hal ini menandakan guru berjenis kelamin perempuan lebih dominan daripada guru berjenis kelamin laki-laki.

Jika dilihat data guru di Kalimantan Selatan dari total 23.337 guru, sebanyak 68% berjenis kelamin perempuan. Meski sudah menjadi seorang guru di sekolah, banyak guru perempuan yang juga berperan aktif menjadi guru les di luar jam kerjanya sebagai seorang guru.

Untuk menghindari anak bangsa dari buta ilmu pengetahuan dan teknologi, peran perempuan sebagai guru les patut diberi apresiasi. Selain merangkap menjadi guru di sekolah dan guru les, perempuan juga cukup kesulitan dalam membagi waktu dengan keluarganya.

“Pagi harus beres-beres rumah terus lanjut ke sekolah dulu. Baru berangkat ngajar jadi guru les. Belum lagi kalau ibu rumah tangga yang harus mengurus anak dan suami. Jadi, kami (guru les perempuan) harus benar-benar pandai dalam membagi waktu. Apalagi beberapa guru les juga banyak yang sambil kuliah,” ujar Septi.

Putri Nadya Oktariana, salah satu anggota dari Narasi Perempuan di Banjarmasin mengatakan bahwa guru les perempuan yang masih bertahan saat pandemi COVID-19 adalah sosok yang luar biasa. “Saat pandemi, mereka masih bisa mendidik anak bangsa tanpa menghiraukan kesehatan mental, fisik, dan cara mengajar mereka yang berbeda. Terlebih bagi guru les perempuan yang masih mahasiswa. Di saat banyak guru les menyerah, guru les perempuan masih bisa bertahan di tengah krisisnya pendidikan,” tuturnya saat diwawancarai pada Rabu, (10/11).

Continue Reading

Populer