Perempuan

Catcalling di Kota Manado: Seberapa Penting Isu Ini?

Ketika kasus catcalling marak terdengar di Kota Manado, apa yang sebenarnya dialami para perempuan yang menjadi korban tindakan itu?

Published

on

Oleh: Brian Lefrand Pratasik

Lima perempuan muda Manado yang pernah mengalami catcalling membuka pengalamannya kepada redaksi LiputanInklusif dan mengatakan, dampaknya sangat beragam bagi mereka, mulai dari biasa saja hingga trauma dan mengurung diri beberapa hari di kamar.


Catcalling adalah salah satu bentuk pelecehan seksual dalam bentuk kekerasan verbal atau psikis. Menurut Komisioner Komnas Perempuan, terdapat nuansa seksual dalam ucapan, komentar, siulan, atau pujian, kadang-kadang disertai kedipan mata yang dilakukan oleh pelaku, sehingga korban merasa dilecehkan, terganggu, bahkan terteror.


Salah satu perempuan Manado berinisial Al (19) mengatakan, para lelaki kebanyakan hanya melakukan siulan dan tidak melakukan tindakan yang berlebihan. Namun, pengalaman Js (20) sangat berbeda, karena ia sampai trauma dan mengurung diri selama beberapa hari di dalam kamar.


“Awalnya tidak tahu bahwa yang saya alami itu catcalling hingga suatu ketika membaca artikel di medsos tentang pelecehan seksual dan baru sadar bahwa selama ini saya menjadi korban catcalling,” kata Js (20), seorang mahasiswa di Universitas Sam Ratulangi.


Pada waktu sekolompok pemuda di pertigaan dekat rumah meneriaki dengan sebutan tak senonoh, Js (20) mengabaikannya dan terus berjalan, Namun para pemuda yang bergelombol malah lewat dengan motor sambil meneriakinya dengan sebutan (maaf) “lonte”. Sontak itu membuat Js takut dan merasa ingin cepat-cepat pulang. Ia juga mengatakan kasus catcaliing juga dia dapatkan di dalam kegiatan kepemudaan di gerejanya.


Karena hal tersebut js (20) sampai trauma dan mengurung diri di kamar dalam rentang waktu yang cukup lama.


Am (20), perempuan Manado lainnya mengatakan pengalamannya saat mendapatkan godaan dan makian dari seorang laki-laki.


“Ketika saya mendapatkan makian dan hal yang tak senonoh lainnya saya langsung melaporkannya ke pihak keamanan yang ada di mal,” ujar Am (20), mahasiswa aktif di Universtas Sam Ratulangi dan juga Influencer.


Pengalaman buruk juga dialami, Fm (22) ketika mendapatkan catcall ia melawan dan tanpa takut juga menghubungi petugas yang ada di area tersebut. Tetapi malah para pelaku catcalling berdalih bahwa mereka melakukan hal tersebut karena ia memakai pakaian yang agak terbuka.


“Bahwa bukan pakaiannya yang salah tetapi tindakan dan psikis kalian yang bermasalah,” ucap Fm (22) dengan nada keras kepada para pelaku catcalling pada saat itu.


Sophia Hage, seorang dokter dan salah satu pendiri Yayasan Lentera Sintas, yang menjamin dan memberikan perlindungan pada anak dan perempuan korban kekerasan, mengatakan bahwa perempuan juga memiliki hak untuk memiliki perlindungan.


“Kita besar di budaya yang sayangnya masih sangat patriarkis sehingga ketika perempuan beraktivitas dan melakukan pekerjaan atau kegitan sehari-hari, sering sekali masyarakat menghakimi perilaku maupun posisi perempuan di masyarakat sehingga ini menyebabkan ada orang asing di pinggir jalan merasa punya hak untuk mengatakan ke perempuan tersebut, ‘Mau pulang kemana, Yuk dianterin yuk,’ padahal orang itu bahkan tidak kenal sama sekali dengan kita,” kata Sophia Hage.

Perbincangan Dengan Narasumber 1 AL (19) Yang Diadakan Lewat Zoom
Perbincangan Dengan Narasumber 2 JS (20) Yang Diadakan Lewat Zoom

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Populer

Copyright © 2021 Liputan Inklusif.