Perempuan

Anak Berkondisi Istimewa Tidak Menjadi Hambatan Bagi Perempuan Untuk Berkarya

Berhati teguh, berjiwa tangguh. Hal tersebut mungkin dapat menjadi sebuah deskripsi untuk  sosok perempuan yang berperan sebagai ibu rumah tangga sekaligus pencari nafkah. Di samping itu, keadaan yang cukup istimewa kerap hadir merangkul kehidupannya, yakni memiliki seorang anak dengan kondisi istimewa. Namun, hal itu tidak menjadi hambatan baginya untuk tetap berkarya.

Published

on

Almira Khairunnisa Suhendra

Berhati teguh, berjiwa tangguh. Hal tersebut mungkin dapat menjadi sebuah deskripsi untuk  sosok perempuan yang berperan sebagai ibu rumah tangga sekaligus pencari nafkah. Di samping itu, keadaan yang cukup istimewa kerap hadir merangkul kehidupannya, yakni memiliki seorang anak dengan kondisi istimewa. Namun, hal itu tidak menjadi hambatan baginya untuk tetap berkarya.

Weny Savitry Sembiring Pandia tengah menjalani kesibukan sebagai dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Atma Jaya sekaligus Ketua Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia . Di samping itu, ia juga merupakan seorang ibu yang membesarkan empat anak dengan dua di antaranya merupakan penyandang difabel.

“Dua anak saya mengidap cerebral palsy. Cerebral palsy adalah kerusakan otak yang menyebabkan kekakuan pada bagian tubuh tertentu,” ungkap Weny ketika diwawancarai pada Jumat (29/10) lalu.

Perhatian Khusus  Diperlukan

Kondisi kedua anak Weny mengharuskannya untuk memberikan perhatian khusus yang optimal. Perhatian itu perlu diberikan dalam bentuk mengejar ketertinggalan serta menjaga emosi anak.

“Kondisi cerebral palsy membuat mereka tertinggal dari anak lain yang berusia sama sehingga ketertinggalan itu harus dikejar. Misalnya dengan membantu diri untuk bisa mandi dan makan sendiri. Walaupun tidak sempurna, tetapi tetap harus dilatih,” jelasnya

Ia pun mengungkapkan kendala yang dihadapi oleh kedua anaknya dalam melakukan aktivitas karena gangguan motorik yang dialami sebagai dampak dari cerebral palsy. Tak hanya itu, Weny juga melihat adanya perubahan emosi dari anak yang sering kali menjadi masalah.

“Mereka juga memiliki masalah emosional. Karena sering di rumah terus, mereka jadi bosan dan gampang marah. Cara mengatasinya adala dengan mengajak mereka bepergian, membacakan cerita, dan mengajarkan komunikasi soal apa yang dirasakan,” ungkapnya.

Manajemen Waktu Kerap Menjadi Kendala

Weny menjelaskan bahwa pembagian waktu menjadi salah satu kendala yang sering ia hadapi. Di samping kewajibannya sebagai dosen, ia juga harus membimbing anak dan memperhatikan kebutuhan seluruh anggota keluarga.

“Anak difabel perlu stimulasi. Belajar dan terapi harus dilatih di rumah. Ini yang sulit karena saya juga harus kerja. Makanya harus pintar-pintar menyiasati waktu,” ungkap Weny.

Weny mengungkapkan bahwa penyiasatan waktu yang ia lakukan dapat berupa mengerjakan pekerjaan seefektif mungkin di kantor sehingga ia bisa mendapatkan waktu yang berkualitas bersama anak-anak di rumah.

“Kemudian, susunlah skala prioritas dalam pekerjaan dan juga mengoptimalkan teamwork agar beban kerja menjadi lebih ringan,” lanjutnya.

Dalam menghadapi kendala yang ada, Weny mengungkapkan bahwa keberadaan dukungan sosial sangat penting dalam membantunya membimbing anak.

“Situasi ini membuat saya harus bekerja lebih keras. Walau pulang kerja sudah lelah, tetapi tetap harus membimbing anak-anak. Makanya saya butuh social support, seperti anggota keluarga lain yang membantu anak belajar serta asisten rumah tangga,” jelasnya.

Kontribusi Profesi

Menjadi seorang dosen psikologi rupanya memberikan beberapa kontribusi untuk penanganan terhadap anak difabel. Weny merasa bahwa pengalamannya dalam membantu para orang tua yang memiliki anak difabel membuatnya lebih merasa bersyukur dan tidak sendirian.

“Pengalaman saya bertemu dan membantu orang lain sebenarnya juga memberikan dukungan untuk saya. Saya jadi tidak merasa sendirian dan merasa lebih bersyukur,” ungkapnya

Tak hanya itu, ilmu psikologi yang ia dalami membuatnya lebih paham terkait pengelolaan keluarga dengan anak difabel serta memberikan intervensi sedini mungkin.

“Karena saya tahu teori dalam psikologi, seperti teori perkembangan dan coping masalah, saya jadi bisa mengambil keputusan dengan yakin. Misalnya ketika tahu ada sesuatu yang tidak beres saat anak memiliki kemampuan yang tertinggal. Karena saya tahu, saya jadi bisa memberikan intervensi sedini mungkin,” jelas Weny.

Kemudian, Weny juga mengungkapkan agar orang tua bisa lebih menambah wawasan terkait anak difabel sehingga orang tua yang tidak memiliki edukasi psikologi dapat pula memberikan penanganan yang tepat.

“Bisa dilakukan dengan menambah wawasan dengan mencari bahan bacaan melalui internet, rajin mengikuti webinar, berkonsultasi dengan para profesional, dan bergabung dengan support group,” ungkap Weny.

Penerimaan  pada Kondisi Anak

Weny berpendapat bahwa hal yang harus dilakukan pertama kali ketika memiliki anak difabel adalah penerimaan.

“Hal terpenting adalah menerima kondisi anak. Kalau sudah menerima, kita jadi memiliki kemauan dan semangat untuk memberikan yang terbaik bagi anak,” ujarnya.

Weny berharap bahwa para orang tua, khususnya ibu di luar sana yang memiliki anak difabel, dapat lebih mampu mengelola diri agar tidak mengalami keletihan, stress, bahkan frustrasi. Tak hanya itu, ia juga menekankan pada eksistensi support system sebagai pendukung.

“Carilah support system. Kemudian, janganlah menyerah dan terus semangat untuk memberikan yang terbaik bagi anak,” pungkasnya.

Infografis Pengidap Cerebral Palsy di Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Populer

Copyright © 2021 Liputan Inklusif.