Difabel

Nurul Sa’adah, Perempuan Difabel Fisik dengan Beragam Profesi

Nurul Sa’adah Andriani (44) atau dikenal sebagai Direktur Yayasan Sentra Advokasi Perempuan, Disabilitas, dan Anak (SAPDA) Yogyakarta, merupakan penyandang disabilitas fisik sejak usia dua tahun karena kaki kirinya yang lumpuh akibat polio.

Published

on

Gambar 1. Nurul Sa’adah Andriani, penyandang disabilitas sekaligus Direktur Yayasan SAPDA Yogyakarta. Sumber: Dokumen pribadi milik Nurul Sa’adah Andriani.

Oleh: Whafir Pramesty

Nurul Sa’adah Andriani (44) atau dikenal sebagai Direktur Yayasan Sentra Advokasi Perempuan, Disabilitas, dan Anak (SAPDA) Yogyakarta, merupakan penyandang disabilitas fisik sejak usia dua tahun karena kaki kirinya yang lumpuh akibat polio. Mematahkan stigma bahwa difabel adalah orang yang tak berdaya, keterbatasan yang dimiliki Nurul membawanya pada dunia karier yang beragam. Selain menjadi Direktur SAPDA Yogya, Nurul juga berprofesi sebagai advokat, peneliti, penulis, pengajar, dan pelaku seni.

Kendati demikian, alumnus Fakultas Hukum UGM ini mengaku, dirinya lebih tertarik untuk menekuni bidang sosial dan pemberdayaan masyarakat, utamanya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, disabilitas, dan anak.

“Saya hanya bisa memperjuangkan sedikit orang ketika menjadi advokat, tetapi dengan SAPDA, saya bisa bergerak untuk mengadvokasi kebijakan sehingga basic hukum saya tidak hilang karena bisa memengaruhi kebijakan di Indonesia, salah satunya penyusunan UU 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas​​,” jelas Nurul.

Tak hanya itu, sebagai peneliti ia cukup concern dengan isu gender, disabilitas, kekerasan, kebijakan inklusif, dan lainnya. Bahkan, ia menuangkan tulisan dengan beragam topik ke dalam karya paper, modul, dan buku panduan. Kecakapannya dalam hal ini membuat Nurul beberapa kali diminta menjadi fasilitator atau dosen tamu di suatu universitas. Adapun hal menarik lainnya, yakni ia cukup mahir merangkai cerita dalam sebuah gambar digital dan film pendek tentang hak perempuan disabilitas.

Banyaknya aktivitas yang dikerjakan Nurul membuatnya disebut serba bisa oleh rekan kerjanya. “Selain multitalent, Bu Nurul juga multitasking, kemampuan prioritas dan kemampuan manajemen waktu beliau sangat bagus,” ucap Siti Chofivah, HRD SAPDA Yogya.

Sementara itu, suami Nurul mengenal istrinya bukan sebagai seorang difabel walaupun secara fisik memang difabel. Ia beranggapan bahwa dalam sebuah keluarga, mereka adalah partner yang membangun kesepakatan bersama seperti biasa tanpa pernah membedakan hak dan martabatnya.

“Saya tidak merasa bahwa dirinya (Nurul) seorang difabel, karena secara sikap dan karakter ia tidak difabel. Kemudian secara ide, komunikasi, mendidik anak, peranan dalam membuat gerakan dan menginklusikan kebijakan, saya melihat itu sebagai suatu hal yang luar biasa,” ujar Miko, suami Nurul.

Lebih lanjut, menanggapi stigma tentang difabel di masyarakat, Nurul menilai bahwa difabel tidak sepenuhnya pasif dalam artian menerima kondisinya begitu saja. Menurutnya, mereka pasif karena tidak memiliki pengetahuan dan tidak diberikan kesempatan untuk berpendapat. Baik difabel yang memiliki daya juang kuat maupun yang tidak berdaya selalu bergantung pada pola asuh keluarga. Pola asuh yang positif sejak kecil akan membentuk pribadi yang tangguh dan mau berjuang.

“Saat pola asuh yang diterapkan itu negatif, baik terlalu memanjakan ataupun meminggirkan difabel, maka dia tidak akan mampu berjuang karena stigma ‘kamu tidak bisa’ akan melekat dan diyakini bahwa dia memang tidak bisa,” ungkap Nurul.

Nurul meyakini bahwa pada dasarnya, semua orang termasuk difabel memiliki kemampuan, namun tidak semuanya memiliki keinginan dan daya juang. Permasalahannya adalah terdapat sebagian difabel yang mudah putus asa dan takut mengambil kesempatan ketika tahu risikonya. Harapannya mereka bisa percaya diri bahwa mereka memiliki potensi yang harus dikembangkan.

“Ketika kesempatan dibuka, kita harus berjuang dan berusaha untuk mendapatkannya tentu saja dengan mengukur sumber daya yang dimiliki. Sebab, ketika kita ingin mendorong adanya kesetaraan hak, kita juga harus membuat diri kita sama dengan orang lain, tidak kemudian kita harus diprioritaskan,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Populer

Copyright © 2021 Liputan Inklusif.