Anak

Pandemi Membuat Anak Mengalami Sindrom Stres

Published

on

Siswa Sekolah Menengah Pertama sedang mengikuti pembelajaran daring (2/11)

Oleh: Raihan Atha NW

Selama pandemi Covid-19, anak-anak merasa tertekan. Hasil survei Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA) tahun 2020 menunjukkan sebanyak 26% responden merasa tertekan, 38% menjadi mudah marah, 20% sering menangis, dan 42% merasa sedih.

Survei yang melibatkan 3.252 responden anak-anak ini bertujuan untuk melihat bagaimana kondisi anak-anak selama pandemi. Survei yang pengumpulan datanya pada 8-13 Juli 2020 ini juga menemukan, anak-anak juga merasa dirinya gagal (25% responden), merasa dirinya tidak berharga (11% responden), dan merasa pesimis dengan masa depan (9% responden).

Kafi, murid kelas 6 SD di Kota Semarang, menuturkan dirinya merasakan stres akibat tugas-tugas sekolah yang diberikan. Kafi mengatakan selama pembelajaran daring tugas-tugas yang diberikan lebih banyak.

“Kadang ada tugas nggak masuk akal, seperti nggak ada jawabannya,” tuturnya ketika ditemui di rumahnya, Jumat (22/10).

Untuk mengurangi rasa stresnya, biasanya Kafi pergi ke warung untuk membeli jajan. Selain itu, ia juga bermain gim di ponsel pintarnya.

Hal serupa dirasakan Bunga, siswi kelas 6 SD di Kota Semarang. Bunga merasa tugas sekolah yang diberikan sangat banyak dan ada tugas yang materinya tidak diajarkan. Jadi ia merasa kesulitan mengerjakannya.

Nggak diterangkan (oleh guru), tiba-tiba langsung dikasih tugas,” ceritanya ketika dihubungi via telepon Whatsapp pada Minggu (31/10).

Angka kasus Covid-19 yang mulai melandai membuat pemerintah mengkaji ulang aturannya mengenai pembelajaran secara daring. Di Kota Semarang, beberapa sekolah sudah mulai menetapkan pembelajaran tatap muka. Meskipun belum sepenuhnya tatap muka, banyak orang tua merasa terbantu dengan mulai dibukanya pembelajaran secara luring ini. Salah satunya adalah Istiana, orang tua dari Kafi.

“Sekarang hybrid sudah agak ringan. Kalau dulu online-nya agak sumpek. Belajarnya ganti-gantian sama kakaknya. Ngajarinnya gantian. Sekarang udah PTM agak terbantu, agak ringan,” jelasnya ketika ditemui di rumahnya, Jumat (22/10).

Liliek Handoko, guru di SMA Negeri 2 Semarang menuturkan, salah satu kesulitan dari pembelajaran secara daring ini adalah kontrolnya. Guru sulit mengetahui apakah murid-muridnya sudah paham dengan apa yang diajarkan atau tidak.

“Di kelas kan kita tahu langsung kan, istilahnya, siswanya paham atau nggak, ada kesusahan atau nggak, bisa disamperin satu-satu, kalau online nggak,” ucap guru bahasa Indonesia itu ketika ditemui di perpustakaan sekolah, Kamis (21/10).

Salah satu cara untuk mengetahui tingkat pemahaman murid adalah dengan memberikannya tugas-tugas.

Liliek sendiri paham bahwa siswa pasti mengalami kejenuhan, bosan, hingga stres selama pembelajaran daring. Untuk itu ia mengajak orang tua, guru, serta sekolah menciptakan suasana pembelajaran yang mendukung bagi siswa.

“Kalau terkait PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh), saya yakin bahwa setiap sekolah punya permasalahan masing-masing, apalagi anak-anak pasti mengalami kebosanan, kejenuhan, lebih-lebih stres. Tapi tinggal bagaimana peran serta guru, sekolah, dan orang tua untuk menyelesaikan permasalahan tersebut,” kata Liliek.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Populer

Copyright © 2021 Liputan Inklusif.