Connect with us

Difabel

SAPDA Terus Gencarkan Advokasi Perempuan Disabilitas di Masa Pandemi

Yogyakarta – “Perempuan di masa pandemi memiliki beban ganda dalam hidup sehari-hari. Bahkan perempuan difabel dapat memperoleh 10 kali lipat beban yang ditanggungnya dibandingkan perempuan normal pada umumnya,” ujar Dhede, Koordinator Women Disabilty Crisis Center Sentra Advokasi Perempuan Difabel, dan Anak (SAPDA) (30/10).

Published

on

Oleh: Maftukhatun Deritanti

Yogyakarta – “Perempuan di masa pandemi memiliki beban ganda dalam hidup sehari-hari. Bahkan perempuan difabel dapat memperoleh 10 kali lipat beban yang ditanggungnya dibandingkan perempuan normal pada umumnya,” ujar Dhede, Koordinator Women Disabilty Crisis Center Sentra Advokasi Perempuan Difabel, dan Anak(SAPDA) (30/10).

Hal serupa juga disampaikan oleh Mantan Ketua Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Setia Adi Purwanta dalam lokakarya yang dilaksanakan oleh SAPDA pada 6 April 2021.

“Pandemi COVID-19 membuat laju pertumbuhan ekonomi terhambat, negara makin tergantung pada pemilik modal. Difabel dan kelompok marjinal lainnya makin terpuruk, terutama di bidang ekonomi dan kesehatan. Kelompok marginal sudah dari dulu susah, saat ini makin susah,” kata Setia, dilansir melalui rilis berita SAPDA.

Gambar: Asistensi di Pengadilan Boyolali (Dokumentasi SAPDA)

Menanggapi isu COVID-19 yang terjadi sejak akhir 2019 lalu, SAPDA bekerja keras dalam upaya advokasi dan dorongan kesetaraan bagi para disabilitas, perempuan dan anak. Siti Chofivah atau akrab disapa Ivah selaku HRD SAPDA sejak tahun 2018 menjelaskan bahwa SAPDA telah melakukan riset terhadap siklus hidup perempuan difabel pada tahun 2020 lalu.

Hasil riset memberikan gambaran terhadap keresahan dan permasalahan apa saja yang dihadapi oleh perempuan disabilitas mulai dari masa kehamilan hingga lansia.  Sehingga SAPDA dapat memberikan rujukan atau advokasi sebagai penyelesaian dari permasalahan tersebut. “Riset ini dilakukan oleh tim SAPDA dengan subjek penelitian perempuan yang memiliki disabilitas baik fisik, mental, intelektual, sensor, dan sebagainya,” ungkap Ivah.

Lebih lanjut, SAPDA merupakan lembaga sosial masyarakat yang bersifat non-profit. Berdiri sejak tahun 2015 dan tercatat dalam akta notaris serta hukum pada tahun 2016. Dalam kiprahnya SAPDA telah berhasil menghasilkan berbagai advokasi, program dan bantuan bagi penyandang disabilitas perempuan dan anak.

Ivah mengungkap bahwa SAPDA memiliki empat divisi, yakni Women Disabilty Crisis Center (WDCC) yang bergerak dalam penanganan disabilitas terhadap pelayanan hukum, Gender Equality sebagai divisi berfokus pada isu disabilitas dengan isu lainnya seperti seorang difabel dengan bencana, parenting, jaminan sosial, dan laainnya, Pusat Sumber Media (PSM) yang berkaitan dengan campaign atau penyebaran informasi advokasi SAPDA, dan Fundraising berupa kerjasama dengan berbagai pihak terkait isu inklusifitas.

“Di bawah WDCC itu ada RCB atau Rumah Cakap Bermartabat sebagai pelayanan konseling psikologi dan hukum bagi para perempuan disabilitas,” jelas Ivah. Dalam isu perempuan, WDCC telah menelurkan berbagai advokasi dan mendorong lembaga pemerintah untuk lebih peka pada inklusifitas para difabel.

“Memang pada praktiknya baik kebijakan dan anggaran pelayanannya masih bersifat universal, belum ada yang khusus bagi perempuan dan difabel. Sehingga konsekuensinya pelayanan bagi difabel ini masih belum tersedia,” jelas Dhede.

Pada tahun 2019 hingga Oktober 2020, SAPDA bekerja sama dengan lembaga MAMACASH-Belanda dan menghasilkan program pemberdayaan perempuan difabel. Program ini dilakukan untuk memberdayakan perempuan difabel agar mampu menghasilkan penelitian berbasis Gender Equality Technical Committee (GETC).

Program ini disambut antusias oleh publik dan berhasil memperoleh 1001 peserta perempuan dari berbagai daerah di Indonesia. Peserta program kemudian dipilih sebanyak 25 orang untuk mengikuti pelatihan dan loka-karya penelitian ini. “Dampak dari program ini cukup signifikan. Karena kita tidak hanya menjadikan perempuan difabel sebagai sumber tapi juga memiliki bekal keilmuan dalam melakukan penelitian,” jelas Ivah.

Selama masa pandemi ini, SAPDA yang bermitra dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA) juga menghasilkan protokol kesehatan bagi difabilitas. “Dalam hal ini jika difabel menjadi pasien Covid, terpapar hingga terdampak Covid, kami membuat kebijakan atas itu. Jadi kami menelurkan semacam penanganan protokol bagi penyandang disabilitas,” jelas Dhede.

Difabel

Tiga Difabel Netra dan Talenta Musik Mereka

Ariani Nisma Putri, Kharisma Nur Hakim, dan Delia adalah difabel netra yang terus berproses mengembangkan talenta mereka dalam bermusik.

Published

on

By

Oleh: Anatasya Patricia Kilis

Keterbatasan fisik bukanlah halangan untuk berkarya, termasuk bagi difabel. Ariani Nisma Putri, Kharisma Nur Hakim, dan Delia adalah difabel netra yang terus berproses mengembangkan talenta mereka dalam bermusik.

Ariani Nisma Putri atau kerap disapa Putri Ariani (16 tahun) adalah seorang difabel netra yang berdomisili di Yogyakarta.

Putri memiliki berbagai kecakapan, salah satunya seni musik. Menekuni kegemaran bernyanyi sejak usia 7 tahun, membawanya pada berbagai capaian dan prestasi. Ia bahkan memenangkan Indonesian’s Got Talent pada 2014 silam dan sampai saat ini ia sering terlibat sebagai penyanyi pada acara-acara nasional.

Putri Ariani dalam penampilannya pada opening ceremony Pekan Paralimpiade Nasional XVI.
Sumber: akun Instagram @arianinismaputri

Bagi Putri, musik adalah bagian hidupnya. Ia tidak pernah jenuh berproses mengembangkan potensi diri melalui teknik belajar paling nyaman baginya.

“Saya menggangap musik adalah bagian dari hidup, jadi proses pengembangan dan belajar dibawa enjoy,” tuturnya dalam wawancara melalui Zoom (20/01).

Situasi pandemi membawa sisi positif bagi Putri. Kini, ia jadi lebih produktif menghasilkan karya baru. Sejauh ini, Putri telah merilis dua album dan merencanakan berbagai inovasi karya untuk waktu mendatang.

“Pandemi justru membuat saya makin produktif, karena hanya di rumah saja, jadi banyak ide muncul. Daripada cuma malas-malasan, saya biasa menyibukkan diri untuk menulis lagu,” ungkapnya.

Terkadang keterbatasan atas kondisi fisik menjadikan Putri kurang percaya diri. Namun, upaya berdamai dengan penerimaan diri dilakukannya dengan menetapkan pikiran positif. Selain itu, keluarga Putri senantiasa mendukungnya agar bangkit dari ketidakpercayaan diri.

Ayah Putri, Ismawan Kurnianto menyoroti pandangan kebanyakan masyarakat terhadap difabel semata pada keterbatasan fisik yang dialami.

“Terus terang saja di Indonesia masalah utama adalah stereotipe. Itu terkadang membuat Putri merasa down. Namun saya selalu sampaikan pada Putri bahwa di industri seperti ini, buat karya secara tulus, yang tidak menyisakan celah untuk orang lain bertanya, sehingga mereka hanya bisa menikmati,” ungkap Ismawan.

Selaras dengan Putri, Kharisma Nur Hakim, seorang difabel netra yang turut mengembangkan potensi diri pada fokus musik di Kota Bandung.

Menyadari talenta sebagai karunia yang harus terus diasah, lelaki berusia 28 tahun ini pernah mengalami penolakan oleh sebuah lembaga kursus alat musik. Berangkat dari penolakan tersebut, ia memilih belajar secara autodidak.

“Saat saya ingin belajar gitar ke sebuah tempat kursus ditolak karena fisik yang tidak bisa melihat dan kondisi jari yang kurang sempurna. Sempat down atas keadaan yang dipikir tidak memungkinkan, akhirnya saya belajar sendiri dan rata-rata autodidak dari teman sepergaulan,” jelasnya dalam wawancara melalui WhatsApp (19/01).

Kharisma Nur Hakim dalam penampilannya pada konser “Merakit”
Sumber: kanal YouTube Yura Yunita

Dengan kegemaran sebagai gitaris, seringkali ia melakukan kolaborasi bersama beberapa musisi. Namun bagi lelaki yang kerap di sapa Aris tersebut, industri musik di Indonesia secara umum belum sepenuhnya memberi ruang bagi para difabel.

“Menurut saya masih sedikit orang yang mempercayai difabel pada ruang musik. Padahal musik itu bahan utamanya audio, teman-teman netra tentunya cukup peka untuk itu, karena terbiasa hidup mengandalkan audiotori. Adapun terkadang masalahnya bukan hanya diperlukan lagu dan suara bagus, penampilan menarik juga dibutuhkan. Tapi menurutku, harusnya industri musik juga menyiapkan ruang yang cukup bagi teman-teman difabel. Sosok Yura Yunita, Glenn Fredly, Rizky Febian merupakan contoh circle yang aware pada karya kami, mengangkat kami tanpa melihat aspek difabel kami,” tegas Aris.

Situasi pandemi membawa dampak buruk bagi Aris, pembatasan kontak fisik membuat pekerjaan yang dijalani dalam bidang musik terhambat. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, perlahan hal tersebut mulai membaik.

Menjalani kegemaran dengan segenap hati, Ia menyatakan bahwa kesenian itu tidak ternilai, karena “tidak semua orang dikaruniakan talenta bermusik. Saya akan terus belajar dan berupaya bermusik secara tulus, juga tidak mudah menyerah,” tandasnya.

Sementara itu, Delia (25 tahun), seorang difabel netra yang berdomisili di Kota Bandung, menyadari bakat bernyanyi ketika ia menjadi vokalis band pada jenjang Sekolah Dasar yang ditempuh.

“Saat saya SD, ada kelas khusus vokal yang merupakan pelajaran wajib. satu kelas minimal harus punya 1 band, mau tidak mau saya jadi vokalis di band tersebut. Karena sering belajar vokal dan diasah bersama tim, akhirnya sadar bahwa saya bisa nyanyi. Mulai dari situ kami sering ikut festival band, lanjut ke babak nasional hingga akhirnya menang,” tutur Delia.

Delia dalam penampilannya pada konser “Merakit”
Sumber: kanal YouTube Yura Yunita

Proses memberanikan diri untuk tampil di depan orang banyak terasa cukup memberatkan bagi Delia, Namun akhirnya ia berhasil termotivasi lebih percaya diri.

“Tampil bernyanyi di depan banyak orang itu kesulitan besar yang sukar saya deskripsikan, saya malu dan tidak percaya diri. Tapi saya meyakinkan diri sendiri bahwa saya harus bisa, akhirnya saya berani untuk hal itu. Dengan demikian, saya mampu bernyanyi di hadapan empat ribu orang pada konser Merakit di Balai Sarbini Jakarta,” ungkap Delia dalam wawancara melalui Whatsapp (20/01).

Pandemi membawa tantangan yang tak mudah, pembatasan mobilitas membuat aktivitas Delia bernnyanyi bersama rekan-rekan institut musik jalanan tidak terlaksana dengan baik.

“Saya tidak bisa perform karena PSBB di mana-mana, tempat kerja juga tutup, karena saya sempat kerja di Jakarta bergabung dengan institut musik jalanan, kami nyanyi di mal dengan membuka kotak apresiasi tapi selama pandemi ditutup,” imbuh Delia.

Kesibukannya kini sebagai orangtua dan ibu rumah tangga membuat Delia memusatkan prioritas perhatian pada sang anak. Pengembangan kemampuan bernyanyi tetap dilakukan dari rumah.

“Untuk sekarang belum ada niat untuk terjun lebih dalam ke dunia musisi, karena anak saya masih kecil, jadi benar-benar belum mau ninggalin anak, kecuali ada acara besar. Tapi sering latihan vokal dengan karaoke musik di rumah,” tandasnya.

penampilan Kharisma Nur Hakim (Aris), Delia dengan rekan difabel lainnya Bersama Yura Yunita pada konser Merakit
Continue Reading

Difabel

Agus Penjual Koran Berjuang Selama Pandemi, Bukan Untuk Dikasihani

Agus setiap harinya dari pukul 16.00 hingga pukul 23.00, ia menjajakan koran yang ia dapatkan dari beberapa agen

Published

on

By

Oleh : Ludovika Krisa Marentini

Suara bising kendaraan berlalu lalang di sekitar lampu merah meramaikan jalan Podomoro, Pontianak, Kalimantan Barat. Sebagai seorang pedagang koran di sekitar lampu merah Podomor, Fiktor atau akrab disapa Agus terbiasa dengan kebisingan tersebut. Setiap hari dari pukul 16.00 hingga pukul 23.00, ia menjajakan koran yang ia dapatkan dari beberapa agen.

Agus mengatakan bahwa ia menjual koran dari media berbeda. “Aku ambil macam-macam kalo enggak Tribun, Pontianak Post, sama Suara Pemred,” jelasnya. Pria kelahiran tahun 1984 ini mengatakan bahwa dirinya mulai beraktivitas sejak pagi dengan mengantarkan koran pelanggan setianya. Setelah itu ia melanjutkannya dengan menjual sisa koran yang ia bawa. “Kalo pagi antar pelanggan bulanan, setelah itu keliling lok, istirahat jam 12, lalu lanjut jual agik,” tambahnya.

Sambil mengayuh pedal sepeda kesayangannya, Ia mengantarkan koran-koran tersebut dari satu rumah ke rumah lainnya. Pria kelahiran Jakarta tersebut mengatakan bahwa dirinya terkena penyakit polio sejak usianya delapan tahun. Karena tidak mendapatkan perawatan maka hingga tumbuh dewasa ia memiliki kondisi fisik yang tidak sempurna.

Agus selalu mengenakan baju putih dan membawa tas hitamnya untuk menyimpan uang saat sedang berjualan

Keterbatasan fisik yang ia miliki bukan suatu alasan bagi pria berusia 37 tahun ini untuk menjual rasa iba demi mendapatkan uang. Agus selalu bersikap tegas jika ada pengendara yang memberinya uang atau barang tanpa membeli koran yang ia jual.“Daripada minta-minta, kita masih bisa usaha. Walaupun kondisiku begini aku tidak mau minta-minta, ada tangan-kaki lengkap. Minta-minta mana aku mau. Itu namanya malas kerje,” jelasnya.

Meskipun kasus COVID-19 sudah menurun, terutama di Pontianak, tak membuat Agus mengabaikan protokol kesehatan. Ia selalu membawa masker putihnya yang digantungkan di leher menggunakan strap masker manik-manik miliknya. Karena kesulitan bernafas dan membuat suaranya tidak terdengar nyaring, Agus beberapa kali melepaskan maskernya saat menjajakan dagangannya. “Tribun dua ribu, Pontianak Post empat ribu, Suara Pemred empat ribu,” adalah ucapan yang selalu ia ucapkan menggunakan nada naik turun seperti berirama untuk menarik calon konsumennya. Uang yang Agus dapatkan dari hasil berjualan koran digunakan untuk membiayai kehidupan dirinya berserta adik perempuannya.

Menurut bagian sirkulasi Tribun Pontianak, Syahrizal Fitriansyah, mengungkapkan bahwa sebelumnya Agus direkrut oleh koordinator koran yang bekerjasama dengan Tribun Pontianak untuk menjual koran-koran dari Tribun. Selain mendapatkan gaji dari Tribun Pontianak, Agus juga mendapatkan penghasilan dari keuntungan koran yang ia jual. “Dari Tribun Pontianak itu setorannya 1.300 per satu koran, 500 rupiah disimpan per satu eksemplarnya per hari, untuk gajinya satu bulan. Sisa 200 rupiah diambil perhari, itu Agus yang ambil,” kata Syahrizal saat diwawancarai langsung. Syahrizal juga mengatakan bahwa mereka tidak menentukan tempat untuk berjualan. Lokasi dan keamanan dalam menjual koran ditanggung oleh penjaja koran seperti Agus.

Meskipun begitu, sebagai penjual koran kondisi Agus juga sebenarnya dalam posisi yang rentan. Peraturan Daerah Pontianak No 11 Tahun 2019 tentang Ketertiban Umum berisi menyebutkan bahwa “melakukan aktivitas penjualan barang dan jasa di persimpangan jalan/traffic light, yang termasuk daerah milik jalan, taman kota, perkantoran pemerintahan atau tempat umum lainnya.”

Kepala Dinas Sosial, Darmanelly mempertegas larangan tersebut. “Jadi saat ada aktivitas penjualan, yang membeli juga nanti akan mendapatkan sanksi. Jadi sekarang ini kita masih fase sosialisasi,” ujarnya.

Meno Tri Gunawan, Kabid Pemberdayaan Sosial, turut menambahkan bahwa dalam proses penangkapan penjual di traffic light bukan ranahnya Dinas Sosial. “Dalam penegakan Perda, itu dilakukan oleh Satpol PP dan kita di Dinas Sosial ini melakukan pembinaan saja,” terangnya. Kondisi tersebut tentu tidak ideal. Perlu jalan keluar agar Agus dan para penjual koran lainnya tidak dirugikan.

Continue Reading

Difabel

Strategi Tenaga Pengajar Siswa Difabel Mengatasi Keterbatasan Selama Pandemi

Sebagai contoh, anak-anak penyandang disabilitas terpaksa melakukan pembelajaran dari rumah selama masa pandemi Covid-19 di Indonesia.

Published

on

By

Oleh: Ni Komang Alit Rahma Kharisma

SEMARAPURA – Pandemi di Indonesia masih jauh dari usai. Kondisi ini membuat masyarakat tak terkecuali para penyandang disabilitas mengalami kesulitan. Sebagai contoh, anak-anak penyandang disabilitas terpaksa melakukan pembelajaran dari rumah selama masa pandemi Covid-19 di Indonesia. Hal tersebut diterapkan di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri 1 Klungkung.

Sejak adanya pandemi, pihak sekolah terpaksa menerapkan pembelajaran daring kepada siswanya. “Siswa di sini memang mengikuti pembelajaran secara daring. Meskipun kami tahu bahwa itu sama sekali tidak efisien bagi mereka, terutama anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus,” ungkap Ni Made Santiniwati, Kepala Sekolah SLB Negeri 1 Klungkung.

Tidak dapat dipungkiri bahwa selama pembelajaran daring, banyak kesulitan yang dialami, baik itu dari siswa ataupun dari tenaga pengajarnya. Made Santini mengatakan bahwa pihak tenaga pengajar sempat menerapkan pembelajaran dengan cara mengunjungi rumah siswanya. “Anak-anak difabel itu yang diperlukan adalah sentuhan dan perhatian, mereka akan merasa sendiri dan kadang tidak mau mengikuti pembelajaran daring karena tidak ada yang memperhatikannya,” ungkap Ni Wayan Suciningsih, salah seorang tenaga pengajar di SLB Negeri 1 Klungkung. 

Pembelajaran memang dilakukan secara daring tetapi banyak kegiatan yang tetap dilakukan oleh siswa difabel. Mereka dapat dikatakan cukup aktif dalam mengikuti perlombaan. Hal ini juga dianggap sebagai salah satu strategi agar anak-anak difabel tidak merasa terpuruk selama pandemi. “Anak difabel itu sangat senang ketika mereka akan mengikuti lomba sehingga kami sebagai gurunya hanya bisa memfasilitasi dan membimbing mereka sesuai dengan kemampuan kami,” jelas Wayan Suciningsih.

Selama pembelajaran daring, tenaga pengajar di SLB Negeri 1 Klungkung mulai untuk melakukan pembiasaan. Tenaga pengajar juga berupaya untuk melakukan beberapa strategi agar siswanya tidak merasa terpuruk selama pandemi, contohnya dengan mengajak mereka untuk aktif di perlombaan.


Siswa SLB Negeri 1 Klungkung Meraih Juara 2 Lomba Fashion Show Berpasangan Tingkat Provinsi Bali
(Sumber: Dokumen pribadi milik tenaga pengajar SLB Negeri 1 Klungkung)

Salah satu prestasi yang diraih oleh siswa difabel beberapa waktu lalu yaitu menjadi juara 2 lomba Fashion Show berpasangan tingkat provinsi, ini merupakan hal yang membanggakan bagi mereka karena masih bisa aktif selama pandemi. Selain itu masih banyak prestasi yang mereka raih dari sebelum pandemi dan selama masa pandemi.

Sebelum pandemi, anak-anak difabel bersekolah seperti biasa, bertemu dengan teman-temannya, bermain, dan melakukan aktivitas lainnya. Namun, ketika pandemi  ini terjadi rupanya cukup membuat guru mereka khawatir.

“Sebelum pandemi mereka terbiasa bertemu dengan teman-temannya. Tetapi ketika pandemi, mereka terpaksa diam di rumah.  Itu cukup membuat kami takut karena mereka bisa saja merasa terpuruk,” ungkap Resti tenaga pengajar SLB Negeri 1 Klungkung.

Meskipun merasakan kesulitan dalam membimbing mereka, para tenaga pengajar tetap dengan sabar menjalaninya. Mereka berharap agar pandemi cepat berlalu agar siswa mendapatkan pembelajaran secara langsung dengan situasi yang aman dan tidak merasa memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitasnya.

Continue Reading

Populer